Sabtu, 24 Agustus 2013

Ulang Tahun; Resolusi, “Puber” (Paguyuban Umat Beriman) dan Pembebasan

Ulang Tahun; Resolusi, “Puber” (Paguyuban Umat Beriman) dan Pembebasan

Kemarin ketika mendengar kabar tentang sebuah bus masuk jurang, banyak bb grup membicarakannya. “Keributan” “menggila” ketika disebut pertama kali oleh sebuah Koran Indonesia bertaraf internasional bahwa bus itu membawa sekelompok anggota jemaat GKI di Kelapa Gading. Sontak, banyak “orang GKI” yang mencari info tentang hal itu. Namun setelah ada kepastian bahwa ternyata bukan jemaat GKI maka semua bb grup itu menjadi “hening”. Seseorang menyindir bahwa selama menyangka kecelakaan itu menimpa “orang GKI”, ia menjadi begitu sibuk, namun karena ternyata bukan, maka ia kini bisa mencuci bajunya dengan tenang. Apa yang digambarkan oleh contoh peristiwa di atas adalah sebuah ironi. Kita sering merasa demikian terpukul, kecewa, sedih, marah jika ada peristiwa menyedihkan menyusahkan, ketidak adilan, kesewenang-wenangan yang menimpa “orang dekat”, jika tidak? “who care”, saya kembali mengurusi urusan pribadi saya, keluarga saya kelompok saya. Apakah ini adalah sebuah cermin dari cara hidup bersama kita.
Siapakah diantara kita yang menghendaki kemalangan menimpa? Tiada! Jika demikian bukankah kita menghendaki ketenangan, kekuatan, semangat, sukacita berada mengitari? Kita berjuang agar dijauhkan dari marabahaya, kejahatan, ketidak adilan bahkan kekejaman. Semua itu kiranya menjauh.
Hampir semua kemalangan disebabkan dan dilanggengkan oleh sebuah system yang saling terkait. Dan seringkali diawali oleh ketidak pedulian kepada yang lain. Pementingan diri melulu bahkan keserakahan yang terusannya melahirkan kejahatan adalah dasar dari semua itu. Itulah juga yang digambarkan oleh ketidak pedulian Farisi kepada perempuan bungkuk yang selama 18 tahun mengidap penyakit. Perempuan dan sakit pula yang karena system digolongkan kelas rendah yang semakin tersingkirkan karena sakitnya. Mengapa harus berlelah untuk mereka ini? System yang tidak adil dan dibalut dengan peraturan agama (sabat), kemudian menjadi kejahatan terselubung kepada perempuan itu selama 18 tahun.
Tapi Yesus hadir membawa pembebasan. Ini mestinya diawali empati yang  amat dalam. Jika saya menjadi perempuan itu bagaimana? Pasti perempuan Yahudi di jaman itu pun  menghendaki persamaan hak dan juga “pembebasan” bahkan saat ini juga,meski itu adalah hari sabat. Oleh karena itu Empati Yesus ditunjukkan dengan mengatakan “bukankah perempuan ini juga keturunan Abraham?” sama seperti laki-laki yang keturunan Abraham yang mendapat anugrah keselamatan. Ketidak pedulian diganti dengan persamaan hak. Pembiaran yang dapat berarti juga penindasan,  diperhadapkan dengan perjuanqan mempertentangkan ke”diaman” dengan pembebasan dari penyakit.
Demikianlah kita dididik oleh Kristus sendiri untuk membuka hati. Jika mereka sakit dan menderita, maka rasa sakit dan derita mereka yang malang itu menjadi rasa sakitku juga. Kesedihan mu, kehilangan mu, dan rasa dukamu, menjadi milikku juga. Lalu hati mempersilahkan Tuhan memakai dan menguatkan untuk menentukan dan melakukan karyaNya. Dengan demikianlah bersama kita “menyuarakan” pembebasan.
GLORY GRACIA (LN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar